Download App
8.57% DOSA TERINDAH / Chapter 36: Dosa Terindah 1

Chapter 36: Dosa Terindah 1

Khanza masih terdiam menatap kosong langkah ibu nya bersama seorang lelaki lain, pak Gibran mendadak terkejut menatap laki-laki yang sedang bersama ibu Khanza.

"Aku seperti tidak asing melihat laki-laki itu,"

Seketika Khanza tersadar kembali dan menoleh. Dia menatap wajah pak Gibran begitu tajam.

"Eh, maafkan aku, Za. Aku tidak bermaksud untuk..."

"Siapa laki-laki itu? Katakan!" Khanza berubah menjadi cetus. Pak Gibran mencoba untuk meyakinkan kembali penglihatannya pada sosok laki-laki tadi.

"Ya, aku yakin. Dia salah satu donatur di Sekolah Negeri tempatku mengajar dulu. Tapi dia, bagaimana bisa mengenal ibu mu?" pak Gibran menjelaskannya di sertai kebingungan yang sama dengan Khanza saat ini.

"Ayo kita pulang, Mas!" ajak Khanza kemudian.

"Ta-tapi Za? Kita datang kesini karena..."

"Mas, aku mau pulang sekarang!" Cetus Khanza pada pak Gibran.

"Eh, ba-baiklah. Kita pulang sekarang!" jawab pak Gibran dengan nada kesal.

Selama perjalanan Khanza hanya terdiam. Beberapa kali dia meremat tangannya dan memainkan ujung jemari kukunya yang di satukan.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya pak Gibran berusaha menenangkan emosi Khanza yang sudah sangat memuncak terlihat jelas dari raut wajahnya.

"Aku harus tau siapa laki-laki itu dan apa hubungannya dengan ibu ku, itu saja."

"Hem, baiklah. Kau berhak tau, lalu kemudian ibu mu akan bertanya bagaimana kau bisa tau mereka berdua ada dimana dan sedang apa kau di motel itu. Apa yang akan kau jawab?"

Khanza terdiam, sepertinya dia sedang terhentak dan membenarkan jika apa yang di sampaikan pak Gibran bisa saja dijadikan serangan tanya untuknya.

"E-eh, aku..."

"Pikirkan baik-baik! Jangan mudah di kendalikan oleh emosimu, atau semua akan terungkap begitu saja. Terkecuali, kau sudah siap mengakui hubungan kita di hadapan keluargamu, Khanza."

"Apa kamu bercanda, Mas?" tanya Khanza yang mulai marah kembali. Pak Gibran mendiaminya, karena mereka kini sudah sampai di depan pintu minimarket tempat mereka bertemu tadi.

"Pulang lah, ibu mu sudah pasti sampai dirumah sejak tadi." ujar pak Gibran, entah mengapa dia justru ikut kesal hari ini. Dia begitu merindukan dan ingin segera menjamah tubuh gadis yang selama ini di cintainya.

Khanza pun menghela nafas kesal, dalam hatinya bergumam dengan apa yang di katakan pak Gibran barusan adalah sebuah pengusiran. Khanza keluar dari mobil dengan sikap kasar, lalu kemudian membanting pintu mobil tersebut dengan kasar.

"Gila. Dia gila, ada apa dengannya? Bukankah dia lihat sendiri apa yang membuatku marah begini? Tidak kah dia mengerti dan memahami perasaanku?" ujar Khanza merutukinya sembari berjalan menuju sepeda mininya yang terparkir di depan sana.

Lalu dengan langkah cetus Khanza menuju sepeda nya dan menaikinya dengan kasar. Dia terus menggerutu sebal berlalu pergi tanpa menoleh kembali ke belekang, sementara disana masih ada pak Gibran yang terus menatapnya hingga bayangan Khanza menghilang.

Sesampainya dirumah, Khanza langsung memarkir sepedanya dan berlarian menuju rumahnya.

"Bu, ibu... Ibu..." panggil Khanza berkali-kali karena ibunya belum juga menjawab panggilannya.

"Ibu!!!" teriak Khanza sekali lagi.

"Ibu disini, ada apaan sih? Kau ini sampai teriak. Ibu baru dari belakang ambil jemuran. Lupa tadi belum ibu angkat." sang ibu kemudian muncul dengan beberapa pakaian kering yang sudah dia cuci pagi tadi.

Nafas Khanza terengah-engah menatap tajam wajah ibunya. Melihat ekspresi puterinya, ibu Khanza mengernyit heran.

"Apaan? Kenapa kau menatap wajah ibu begitu kesal?"

Apa yang harus ku katakan saat ini? Tuhan, aku merasa tercekik oleh suaraku sendiri.

Bathin Khanza bergumam. Sesaat kemudian terngiang suara pak Gibran   akan tutur katanya saat di mobil tadi, jika Khanza nekat bertanya apa yang sudah dia lihat di Motel tadi, tentu ibunya akan lebih mencurigainya.

"Aku lapar! Eh, ya. Aku sangat lapar, Bu."

"Oh astaga, kau ini. Ibu baru saja akan memasaknya. Karena ayah mu juga belum sampai dirumah, kakak mu sift sore. Eh, tunggu. Kau darimana, Za?" jelas ibunya di lanjutkan dengan pertanyaan yang membuat Khanza terpaksa harus kembali berbohong.

"Oh, itu. Tadi aku jalan bareng Chika, Bu. Dia minta di temani beli sesuatu, karena dia tidak bisa memilih sesuatu yang unik. Biasalah, dia memang selalu merepotkan."

Ya ampun, Chika. Maafkan aku, aku sudah membawa namamu untuk berbohong pada ibu. Semoga Tuhan selalu memberkatimu.

"Ya sudah, ibu akan memasak. Kau mandi saja dulu," jawab ibu Khanza sembari hendak menuju kamarnya, dia sudah sangat kerepotan dengan sekian banyaknya baju kering nan bersih yang di dekapnya.

"Eh, aku ingin membantu ibu memasak untuk makan malam nanti."

Ibu Khanza menoleh dengan bersusah payah di balik banyaknya pakaian yang hampir menutupi wajahnya itu.

"Hem, baiklah. Cepat sedikit mandinya, ibu akan menunggu di dapur."

"Iya bu, aku segera mandi." Dengan cepat aku menuju kamar kemudian melempar tas gandengku tergeletak begitu saja di atas kasur.

Jelang berapa menit kemudian, dengan wajah masih basah. Khanza keluar dari kamarnya langsung menuju dapur, dia tak ingin kakak dan ayahnya tiba dahulu sebelum dia sempat berbicara dengan ibunya.

"Bu, apa yang harus ku kerjakan? Menu makan malam kali ini apa?" tanya Khanza setelah tiba di dapur. Ibunya terdiam tanpa tanggapan, dia hanya menyiapkan beberapa perlengkapan dapur dan menyalakan kompor.

"Katakan, apa yang ingin kau sampaikan pada ibu." ucap ibu Khanza sembari mencuci beberapa sayuran. Khanza tak lagi terkejut mendengar ibunya bertanya demikian. Karena kenyataannya, ibunya selalu peka akan hal apapun yang Khanza sembunyikan.

"Ehm, Bu. Apakah kau sungguh mencintai ayah?"

Ibu Khanza menghentikan gerakan tangannya saat masih mencuci sayur. Dia terlihat sedang termenung sesaat, lalu menarik nafasnya dalam-dalam.

"Jika tidak, lalu mengapa ada kau dan kakak mu, Arumi. Jika tidak lalu mengapa masih berada dalam satu atap dirumah ini?" jawabnya kemudian.

"Bu, aku berharap jawaban itu sungguh lah dari hati ibu. Aku ingin ayah dan ibu bersama hingga menua nantinya. Tentu dengan banyak cucu yang mungil dan lucu dari ku dan kak Arumi, tolong! Jika pun ada laki-laki lain yang ibu tidak bisa lupakan hingga detik ini. Menyerahlah, Bu. Lupakan, demi ayah."

Kali ini Khanza begitu sesak setelah melontarkan kata demikian. Tadinya dia harap akan semakin membaik dan berharap sang ibu akan mengerti maksud ucapannya itu.

"Za, kau belum dewasa. Jangan memikirkan hal yang bukan urusanmu, fokus saja pada sekolahmu yang sebentar lagi kau akan lulus. "

Aku sudah bosan dengan jawaban ibu yang terlihat begitu antusias agar aku selalu berada di prestasi yang bagus. Tidak bisakah dia jujur saja, aku mungkin akan memahaminya meski ibu mungkin akan malu.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C36
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login