"Bisa disebut seperti itu. Hubunganku dengan Ningrum sangat dekat, kami bahkan selalu bersama saat di Kemuning, dia sering kupeluk dan kucium, ya... itu adalah hal yang sangat lumrah kami lakukan sehari-hari," jelasku sembari melirik ke arah Pandu yang kini sudah menunduk dengan wajah merah padamnya. Jelas benar pemuda ini gampang ditebak, bagaimana bisa dia langsung percaya begitu saja.
"Aku lihat ekspresimu ini malau ndhak salah, kamu telah tertarik dengan Ningrum, apa aku benar?" kutanya, dia langsung menatapku dengan mata lebarnya itu.
"Oh, tentu saja endhak, Mas. Tentu saja endhak! Aku cukup sadar diri siapa aku dan siapa dia! Mana berani aku jatuh hati kepadanya. Apalagi sekarang, aku telah bertemu dengan pujaan hatinya," kata Pandu dengan nada ketakutan luar biasa.
"Memangya siapa Ningrum itu? Dia hanya manusia, anak dari manusia. Sama juga sepertimu, toh?" tanyaku lagi.