Jam di tanganku menunjukkan angka sembilan belas lebih empat puluh tiga menit, aku baru saja selesai berdandan dan duduk di sofa menunggu kedatangan Harsya. Tatapanku jatuh ke cincin platina di jari manis kiriku, aku mendesah. Aku telah mencoba untuk melepasnya berkali-kali tapi cincin ini seperti telah tersangkut di sana. Cincin ini menutupi cincin pertunanganku dengan Harsya. Aku kembali memutar-mutarnya lagi, berharap kali ini cincin bisa bisa lepas dari jari manisku.
"Cincinnya cantik, Zie," kata Reina, teman kosku yang lain saat ia melihatku mencoba melepas cincin dengan taburan berlian di jariku..
"Eh, Na, bisa bantu aku melepas cincin ini tidak?" pintaku sambil nyengir.
Reina mendekat, jemariku terarah ke arahnya. Reina memegang jemariku, matanya berkilau mengagumi cincin yang melingkar di salah satu jariku.
"Kenapa? cincin ini bagus, pas banget di jari kamu," Reina tak melepas tatapannya dari cincin di jariku.
"Cincin ini menutupi cincin pertunanganku," keluhku dengan dada berdebar, setiap melihat cincin itu aku selalu teringat ucapan perempuan yang mengaku sebagai anakku dan Ali, Zeze.
"Aku justru mengira ini cincin pertunanganmu,"
"Bukan."
Reina tersenyum kemudian mencoba membantuku dengan memegang ta jariku dan mencoba menarik cincin itu tapi cincin itu sama sekali tak bergeser dari tempatnya di jariku.
"Pakai minyak atau sabun, Zie."
"Sudah berbagai cara dicoba tapi belum bisa," kataku putus asa.
"Ya.. sudah dipakai saja, kecuali kamu ingin memotongnya," Reina tertawa. "Tapi sayang kalau dipotong, ini cantik banget,"
Seseorang mengetuk pintu yang sudah terbuka, dia melakukan hal itu dengan sopan. Aku dan Reina segera menatap ke arah pintu dan tersenyum saat melihat Harsya berdiri di sana. Harsya terlihat sangat tampan dengan pakaian casual yang dikenakannya.
"Kak Harsya," sapa Reina, mata Reina terpaku pada Harsa
"Hai, Na," sapa Harsya sambil melangkah masuk ke ruang tamu, lalu menghampiriku dan tersenyum lembut. "Halo sayang.. '
Aku tersenyum dan menyalami Harsya, aku meminta Harsya untuk duduk sebentar.
"Uh, pantas saja Zie sudah cantik dari tadi ternyata mau berkencan dengan pangerannya," ledek Reina
"Hehe.. " aku tersipu, pipiku memerah. Aku masuk ke kamar untuk mengambil sling bag kesayanganku saat pergi dengan Harsya.
"Tia mana?" tanya Harsya setelah tidak melihat keberadaan Tia di ruang tamu. Biasanya kalau Harsya datang ke sini dia yang paling heboh. Tia sangat akrab dengan Harsya, kadang kalau mereka sudah ngobrol justru aku yang dicuekin.
"Habis ashar tadi dia sudah ke luar. Ada yang harus dikerjakan katanya," Rena menjawab dengan cepat.
" Mau berangkat sekarang atau nanti?" tanya Harsya sambil menatapku saat melihatku keluar dari kamar, tersenyum.
"Besok saja!" aku merengut.
Reina tertawa.
"Yuk, Rein.., kita berangkat dulu," Harsya tertawa sambil menggandengku menuju mobilnya yang terparkir di depan tempat kos.
Perjalanan menuju Cafe Biru memakan waktu setengah jam, banyak sekali yang kami bicarakan selama perjalanan itu diantaranya tempat praktekku selama bulan besok di sebuah rumah sakit di kota yang jaraknya sekitar tiga jam dari sini.
Sampai di cafe, setelah memarkirkan kendaraan, kami memasuki cafe dan dari tempat resepsionis mengarahkan kami ke tempat yang sudah Harsya booking. Tempat ini sangat ramai jadi kalau tidak melakukan reservasi tempat lebih dahulu kemungkinan tidak akan mendapat tempat atau harus menunggu lama.
Tak lama setelah kami duduk, seorang pelayanan memberikan daftar menu dan mencatat apa saja pesanan kami, setelah itu dia permisi. Tak lama kemudian pesanan kami datang, dua piring steak, segelas strawberry milkshake, segelas orange squash. Kemudian seorang pelayanan yang lain membawakan pisang bakar coklat keju kesukaanku dan beberapa cemilan yang lain.
Aku menatap semua hidangan itu dengan gembira," kayaknya pulang dari sini, aku bakal tambah beberapa kilo, nih."
"Hahaha, kamu terlalu kurus jadi nambah beberapa kilo lagi akan membuatmu lebih bagus,"
Aku cuma mengerutkan bibirku. Kami makan tanpa banyak bicara, Harsya membantu memotong daging steak di piringku menjadi potongan-potongan kecil agar lebih mudah dimakan.
" Rencananya mau berangkat kapan?" tanya Harsya setelah kami selesai menyantap steak. Ia segera menyeruput orange squash pesanannya.
"Rencananya sih, mau berangkat Minggu pagi bareng Airin dan Ria, biar bisa melihat tempat kost yang mau kami tempati, menurut teman-teman yang sudah pernah di sana, katanya tempatnya bersih, rapi. semoga biayanya belum naik."
"Kalian mau naik apa?"
"Bus."
"Besok biar aku antar, kebetulan aku tidak jaga."
"Ih, aku ga enak sama mereka berdua, kan sudah terlanjur janjian."
"Maksudnya... ajak mereka sekalian," kata Harsya gemas sambil memijit hidungku.
"Awww, makasih, sayang. Kamu memang calon suami idaman!"
Itulah yang aku sukai dari Harsya, meski kami menjalin sebuah hubungan, ia tak mengekangku untuk dirinya sendiri. Ia bergaul akrab dengan teman-temanku bahkan terkadang ia lebih akrab dengan mereka daripada aku akrab dengan mereka.
Aku segera mengirim chat pada Airin dan Ria agar hari Minggu berkumpul di tempat kost ku karena Harsya mau mengantar kami ke tempat kos yang akan kami lihat. Kedua temanku langsung saja merasa senang dan memuji Harsya.