5. Klise Scene
"Sekarang , aku mulai ragu untuk mempercayai sebuah janji. Karena aku tahu, ingkar dan janji terlalu sering beriringan."
***
Ini kali pertama Lamanda menginjakkan kaki di kantin sekolah setelah beberapa hari yang lalu ia hanya membawa bekal dari rumah, selain lebih sehat juga lebih hemat. Apalagi ia terhitung masih baru berada di area sekolahnya itu.
Lamanda berjalan seorang diri, karena Arsya ikut rapat dadakan dengan anggota cheersleader sedangkan Kaila sedang sibuk mempesiapkan pameran lukisan bersama teman ekskulnya untuk minggu depan.
Sebenarnya, tadi beberapa teman kelasnya sudah mengajak Lamanda ke kantin, tetapi ia malah memilih menyelesaikan cacatan sejarahnya terlebih dahulu, jadilah ia sendirian sekarang. Atau bisa saja Lamanda meminta Raskal menemaninya, dan bisa dipastikan Lamanda akan menjadikan itu opsi yang tidak akan pernah ia pilih. Apalagi sejak kejadian Raskal menciumnya, Lamanda jadi jarang berbicara dengan laki-laki itu, hanya seperlunya, itupun kalau Raskal yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.
Sambil memainkan jarinya untuk menghilangkan gugup, Lamanda melangkah dan mencoba untuk terlihat santai. Ia menggigiti bagian dalam bibirnya ketika banyak pasang mata yang mengalihkan pandangan ke arahnya, memicingkan mata. Menilai Lamanda dari ujung kaki sampai ujung rambut.
Suasana kantin cukup padat, seperti kebanyakan sekolah pada umumnya pada jam istirahat. Lamanda menuju ke salah satu stand makanan yang sedikit lengang kemudian memesan mie ayam dan es jeruk nipis. Ia berdiri, menunggu pesanannya selesai lalu memutuskan untuk membawa makanannya ke kelas, karena ia tidak bisa makan dengan tenang jika tetap berada disini. Makan sambil diperhatikan akan membuatnya sangat risih.
Lamanda berjalan sangat hati-hati saat membawa nampan berisi makanan yang ia pesan tadi. Matanya mengawasi nampan sambil mencoba menyeimbangkan diri. Lamanda memang sedikit memiliki masalah soal keseimbangan badan. Sampai-sampai ia lebih memperhatikan nampannya ketimbang jalan di hadapannya. Yang Lamanda pikirkan hanya satu, yaitu membawa makanannya selamat sampai kelas.
Ia berjalan melewati koridor yang sepi karena kebanyakan murid sedang berada di kantin. Saat sedang fokus menyeimbangkan diri, Lamanda merasakan pusing di kepalanya, yang membuatnya sedikit limbung. Dan...
Brakkk
Lamanda terperajat saat merasakan dirinya menabrak seseorang. Membuat nampan yang dibawanya terjatuh ke lantai, makanannya tumpah tak tersisa. Matanya menatap nanar pada makanan yang berakhir di lantai itu. Hilang sudah harapannya untuk makan, padahal ia sangat lapar. Memilih kembali ke kantin lalu memesan makanan lagi menjadi list terakhir yang ingin Lamanda lakukan saat ini, apalagi harus menghadapi banyak pasang mata yang menyorot ke arahnya.
"Bangs*t." Lamanda tercekat mendengar umpatan seseorang di hadapannya. "Lo buta atau gimana?"
Lamanda mendongak, melihat lelaki di hadapannya itu menunduk, mencoba membersihkan tumpahan mie bercampur teh di kemeja putihnya. Lamanda membulatkan matanya begitu tahu siapa orang yang ditabraknya.
Alta.
Ia ingin kabur, tapi melihat apa yang sudah disebabkannya, ia mengurungkan niat tersebut karena hampir setengah kemeja laki-laki dihadapannya itu kotor gara-gara kecerobohannya.
"Maaf," kata Lamanda gugup. Tangannya terulur membantu membersihkan kemeja lelaki tersebut.
Alta menepis kasar tangan Lamanda. Membuat Lamanda kembali menunduk. Jantungnya berdebar. Ia ketakutan sekarang, kakinya gemetar. Ini memang salah Lamanda, ia yang telah menabrak laki-laki itu. Harusnya Lamanda berjalan agak ke tengah tadi, jadi ketika agak limbung ia tidak akan menabrak Alta yang sedang bersender di dinding sambil memainkan ponselnya dan berakhir mengenaskan seperti ini. Berbagai pikiran negatif saling melintas di otak Lamanda, ia menggeleng pelan mencoba menghilangkan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi selanjutnya.
Perlahan ia membuka jaket orange yang dipakainya kemudian menyerahkannya pada Alta.
"Nggak usah," tolak Alta tidak menyambut uluran tangan Lamanda. Ia berdecak. "Lo nyusahin aja tahu nggak."
Lamanda mendongak. Ia memberanikan diri menatap Alta yang kini membuka kemejanya, menyisakan kaos putih polos yang membukus tubuhnya "Maaf, gue udah bilang nggak sengaja tadi, " Lamanda berkata dengan sedikit bergetar.
Alta menyeringai kemudian menatap balik Lamanda. Ketika pandangan mereka bertemu. Mendadak keduanya membeku.
Mereka terdiam, saling menelisik mata masing-masing. Mata mereka sama. Abu-abu. Satu objek yang sama-sama menghempaskan mereka pada kenangan pahit yang sama. Entah kenapa, mata itu sangat magis. Sepeti lorong waktu yang menelan mereka tiba-tiba lalu menghempaskan keduanya pada sesuatu yang menyakitkan. Masa lalu.
Lamanda yang kaget mencoba menenangkan degup jantungnya yang mulai membuat napasnya sesak. Ia berpegangan pada dinding sebelum tubuhnya terjatuh. Ia berjalan melewati Alta yang masih terdiam. Hanya satu hal yang harus Lamanda lakukan saat ini, pergi ke kelas dan menstabilkan napasnya lalu menenangkan diri.
Alta yang baru tersadar segera mengejar Lamanda dan menghadang gadis itu. "Bersihin kemeja gue!"
Dari sekian banyak kata yang bisa Alta lontarkan, entah kenapa ia malah mengeluarkan kalimat perintah bodoh itu. Padahal ia tahu, gadis di hadapannya itu sedang tidak baik-baik saja. Tapi di sisi lain Alta juga sangat bingung harus bersikap bagaimana. Harusnya otaknya itu bekerja sebagus ketika ia mengerkakan soal-soal matematika ataupun fisika bukannya hang disaat-saat seperti ini.
Lamanda menunduk, tidak berani menatap Alta. Ia mengulurkan tangannya lalu mengambil alih kemeja Alta.
Alta meraih dagu Lamanda, membuat Lamanda menghadapnya. Dilihatnya mata abu-abu Lamanda yang mulai berkaca-kaca.
"EH ALTA ALTAA LIHAT DEH!!."
"ALTA GANTENG YA ALLAH."
"ITU ANAK BARU KELAS SEBELAH KAN?"
"IYA. YANG KATANYA PACAR ALTA."
"NGGAK COCOK, SERIUS!!"
Alta segera melepas tangannya, kemudian menatap tajam beberapa siswi yang mulai berkumpul dan melihat ke arah mereka berdua.
Sontak gerombolan tadi langsung kalang kabut, kabur mencari tempat yang lebih aman, untuk menonton kembali pastinya. Mereka tidak ingin melewatkan momen seperti ini apalagi melihat idola mereka bersama perempuan lain, padahal sebelumnya Alta tidak pernah dekat dengan perempuan. Dan sekarang mereka merasa terancam oleh keberadaan Lamanda. Apalagi setelah Alta mengatakan gadis itu adalah pacarnya.
"Sorry," Alta lembut, ia paling tidak bisa melihat perempuan menangis. Apalagi di hadapannya.
Lamanda bergeming, ia menstabilkan deru napasnya yang mulai tidak teratur. Tangannya memukul dadanya berharap udara masuk. Ia memejamkan mata, merasakan sesak dan nyeri yang teramat di dadanya.
Alta mengernyit bingung, "Kenapa?"
Lamanda tidak menjawab, ia hanya ingin menangis. Napasnya terengah, Lamanda masih berusaha mengatur nafasnya namun gagal. Ia mendudukkan dirinya dilantai, tidak mempedulikan tatapan murid-murid yang mulai memperhatikannya di koridor, ia mulai meneteskan air mata. Berharap ada sedikit saja celah untuk udara masuk.
Melihat Lamanda yang sepertinya kesulitan bernapas, Alta langsung menyelipkan tangannya di kedua lutut dan bahu Lamanda, lalu menggendong gadis itu menuju UKS. Membuat banyak pasang mata melotot tak percaya. Sebagian mengumpat dan menganga dengan tampang tergoblok yang mereka punya.