Download App
50% My Beauty Slave / Chapter 35: Mangsa Masuk Sendiri

Chapter 35: Mangsa Masuk Sendiri

Sekar kehilangan kata-kata setelah mendengar rahasia tentang Ardan yang tidak akan pernah bisa punya anak. Ada sedikit rasa iba muncul di hati Sekar, tapi ia tidak akan pernah bisa memilih.

"Saya tidak akan menyerahkan anak ini tapi saya juga tidak akan menikah dengan Tuan. Pernikahan itu saklar dan saya tidak mau mempermainkannya," tolak Sekar.

"Saya tidak pernah mempermainkan pernikahan. Saya tidak pernah seserius ini, anak itu butuh keluarga utuh dan saya bisa menciptakan keluarga sempurna saat dia lahir," balas Ardan dengan mimik serius.

Semua single parent pasti terharu mendengar janji-janji surga seperti yang dijanjikan Ardan tadi, tapi Sekar sadar kalau pernikahan mereka nantinya hanya akan menjadi duri dalam sekam.

"Saya tidak bisa memilih karena bayi saya bukan barang yang bisa Tuan jadikan sebuah pilihan," tolak Sekar sekali lagi.

Ardan membuang napasnya, awalnya ia tidak ingin memaksa Sekar tapi setelah dua kali ditolak membuat harga dirinya terluka dan seorang Ardan Mahesa tidak suka harga dirinya diinjak-injak terutama oleh Sekar. Raut muka Ardan berubah jadi lebih dingin dan Sekar tahu kalau saat ini Ardan sangat marah.

"Sepertinya kamu belum terlalu mengenal saya," Ardan mencengkram Sekar dengan keras.

"Sakit ... Tuan tidak akan bisa memaksa saya. Lepaskan!" seru Sekar. Emosi Ardan semakin tersulut dan ia lalu membuka pintu mobilnya. Angin pantai berhembus lumayan kencang. Sekar meronta dan meminta Ardan melepaskannya.

"Saya paling tidak suka ditolak!" Suara Ardan menggelegar. Semakin lama Ardan semakin membawa Sekar ke bibir pantai. Angin yang kencang membuat ombak semakin tinggi. Sekar meneteskan air matanya dan takut Ardan menyeretnya masuk ke dalam laut.

"Pilihan sekarang di tangan kamu. Menikah dengan saya, kita hidup bahagia atau kita mati berdua!" ancaman Ardan membuat tubuh Sekar bergetar hebat.

"Tuan sudah gila! Tuan mau bunuh saya hah!" teriak Sekar. Semakin lama kaki mereka melangkah semakin masuk ke dalam laut.

"Menikah dengan saya atau mati!" teriak Ardan sekali lagi. Sekar masih enggan menjawab dan otaknya sekarang dalam kondisi tidak bisa memilih. Menikah berarti menyerahkan hidupnya sampai mati di tangan Ardan dan mati berarti tidak saja membunuh dirinya sendiri tapi juga anaknya. Sekar seperti berada di ujung jurang.

"Oke oke oke ... saya akan memilih," akhirnya Sekar memutuskan apa yang seharusnya ia pilih. Sekarang bukan waktunya egois dan memikirkan dirinya sendiri. Jangan sampai anak keduanya pun menerima dampak dari kelabilan jiwanya.

Ardan membuang napas dan menarik Sekar kembali ke bibir pantai. Tubuh Sekar masih bergetar karena kedinginan. Ardan membuka jaketnya dan memasangkan ke tubuh Sekar. Ardan menyentuh pipi Sekar dan menghapus airmata yang membasahi pipinya. Sekar membuang muka.

"Jadi apa jawaban kamu?" tanya Ardan.

Sekar melihat Ardan dengan tatapan benci dan muak diperlakukan seperti binatang, "Tuan menang! Saya mau menikah dengan manusia kejam, egois, arogan, dan sombong seperti Tuan. Puas!" teriak Sekar dengan keras.

Hanya ini yang bisa Sekar lakukan untuk saat ini. Mengalah dan mengalah sampai nasib baik berbaik hati menyapanya.

Ardan tahu masih banyak hal yang harus ia lakukan untuk menaklukkan Sekar yang masih membencinya. Dengan pernikahan ini Ardan bisa mengikat Sekar untuk tidak lari lagi darinya dan Ardan tidak akan menyerah sampai kapanpun walau caranya harus seperti tadi.

Nimas masih enggan menyapa Arjuna sejak pertikaian mereka di Thailand. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Nimas saat mereka bersama atau berinteraksi satu sama lainnya. Nimas masih marah setiap mengingat ucapan Arjuna yang menganggapnya sebagai pelacur. Bahkan sampai detik ini Arjuna sama sekali belum meminta maaf atau merasa bersalah sudah menghina Nimas.

"Bisa kita bicara?" tiga kata pertama yang diucapkan Arjuna setelah kejadin itu. Nimas cukup kaget tapi tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Nimas memilih melanjutkan kegiatan memasak makan malam sesuai perintah Ardan yang menghubunginya tadi. Ardan memberi tahu Nimas kalau malam ini ada pengumuman penting yang akan ia sampaikan.

"Bisa kita bicara?" Arjuna mengulang pertanyaan yang sama. Nimas masih acuh dan lebih memilih bersiul. Arjuna kesal niat baiknya tidak ada tanggapan langsung masuk ke dalam dapur dan memutar tubuh Nimas. Nimas yang sedang memegang pisau langsung mengarahkan pisau itu untuk mengancam Arjuna untuk tidak mendekati atau mengganggunya lagi.

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan!" balas Nimas kesal.

"Saya ... saya mau minta maaf," Nimas tertawa sinis dan menatap Arjuna dengan wajah pongahnya.

"Maaf? Gue nggak salah dengarkan?" sindir Nimas dengan nada tidak percaya. Arjuna mengangguk dan menjulurkan tangannya.

"Saya minta maaf ... kamu mau maafkan atau tidak tergantung kamu,"

"Ckckckc," Nimas berdecak kagum mendengar gaya minta maaf Arjuna yang angkuh dan sombong. Nimas meletakkan pisaunya lalu berkecak pinggang, ia sengaja menaikkan dagunya untuk menantang Arjuna.

"Kalau gue tidak mau memaafkan lo gimana?" tanya Nimas.

"Nggak masalah yang penting saya sudah minta maaf. Selanjutnya itu urusan kamu dengan Tuhan,"

"Sial! Wajah sengak tapi tampan itu selalu berhasil membuat gue kesal," ujar Nimas dalam hati.

"Jadi sampai kapan saya harus menjulurkan tangan?" tanya Arjuna sekali lagi. Nimas ingin membalas uluran tangan Arjuna tapi dibatalkannya dan ia berlalu melewati Arjuna tanpa banyak kata. Bagi Nimas ucapan Arjuna sudah menyakiti relung hatinya dan sulit untuk bisa memaafkan Arjuna.

Malam harinya,

Sekar dan Ardan diam saat mereka berempat duduk di meja makan. Nimas sedikit antusias mendengar berita yang akan disampaikan Ardan.

"Jangan-jangan Mas Ardan ingin melepaskan Mbak Sekar lalu kami kembali ke Jakarta," ujar Nimas dalam hati, sedangkan Arjuna merasa tatapan Ardan ke Sekar berubah 180 derajat. Tatapan Ardan ke Sekar sama persis seperti dulu saat Maudy masih hidup.

"Ada yang mau saya sampaikan," akhirnya Ardan membuka mulutnya dan memecahkan keheningan di antara mereka.

"Saya ..."

"Kami akan menikah. Itukan yang Tuan ingin sampaikan, saya sangat lelah hari ini dan mau istirahat, permisi." Sekar meninggalkan meja makan karena dadanya semakin sesak. Air mata mulai menumpuk di ujung matanya, Sekar tidak ingin membuang waktu lebih lama berada di dekat Ardan.

Nimas dan Arjuna saling menatap kaget. Sungguh berita ini tidak pernah sekali pun terbersit di benak mereka.

"Me ... Menikah?" tanya Nimas terbata-bata.

"Ya, seperti yang kamu dengar. Mas dan dia akan menikah secepatnya. Mungkin minggu depan setelah semua persyaratannya selesai diurus," balas Ardan.

"Secepat itu? Bagaimana dengan Mbak Maudy? Ya Tuhan ..." Nimas kehilangan kata-kata. Secepat itu Ardan melupakan Maudy dan menikah dengan wanita lain.

"Dia pasti mengerti," hanya itu yang Ardan bisa jawab saat Nimas bertanya tentang perasaannya terhadap Maudy. Ardan meninggalkan meja makan dan masuk ke dalam kamarnya. Matanya melihat satu persatu foto Maudy. Rasa itu masih ada di hati Ardan dan selalu akan ada tapi rasa yang kini ia rasakan pada Sekar berbeda. Ardan merasa hidupnya tidak akan lagi sama jika Sekar menjauh darinya.

"Maaf Maudy. Maaf hati ini berpaling padanya, aku harap kamu mengerti," ujar Ardan dalam hati.

Nimas masih tidak percaya dan ingin bertanya langsung ke Sekar tapi niatnya dihalangi Arjuna, "Mau apa kamu?" tanya Arjuna.

"Dia harus menjelaskan semua ini. Kenapa mereka tiba-tiba memutuskan untuk menikah, bukankah dia hanya tawanan," ujar Nimas tidak percaya.

"Tuan mencintainya. Kebersamaan mereka lambat laun membuka hati Tuan yang tertutup dendam dan amarah. Seharusnya kamu turut bahagia, tapi kenapa sepertinya kamu sangat marah? Mungkinkah kalian takut rencana itu gagal saat Tuan menikah dengan Sekar?" tebak Arjuna.

"Gue nggak peduli tentang hal itu. Yang gue pedulikan kenapa Mas Ardan melupakan Mbak Maudy secepat itu," ujar Nimas.

"Mungkin sejak awal Tuan memang ditakdirkan bersama Sekar hanya saja Tuhan membuat jalan berliku sebelum mereka bahagia," balas Arjuna. Nimas terdiam, saat sadar apa yang diucapkan Arjuna ada benarnya.

Pernikahan Maudy dan Ardan sejak awal penuh kebohongan dan jika pun Ardan cepat melupakan Maudy berarti cinta di antara mereka memang tidak besar.

"Jadi lebih baik kamu mengikhlaskan Tuan menikah dengan dia," ujar Arjuna sebelum meninggalkan Nimas. Nimas masih berdiri di tempatnya dan berpikir untuk apa dirinya masih di sini jika Ardan sebentar lagi akan menikah dengan wanita lain. Hubungannya dengan Ardan akan berakhir setelah Sekar menjadi istrinya.

"Lari! Ya Tuhan, kenapa tidak ada satu pun yang beres jika Mbak memberi kamu kepercayaan. Rencana kita bisa kacau jika Renata berhasil menemui Ardan!" teriak Ibu Marinka dengan kesal. Botol-botol minuman pecah dan membasahi seluruh kantornya.

"Ma ... maaf Mbak, aku lalai tapi ..." Ibu Marinka melemparkan bantal kursi tubuh Tuan Felix sampai ia terjatuh.

"Bodohhhhhh!" maki Ibu Marinka dengan emosi sulit terkontrol.

"Maaf Mbak," balas Tuan Felix terbata-bata.

"Pergi! Dan jangan pernah menunjukkan wajah kamu di depan muka Mbak," usir Ibu Marinka. Semua kesabarannya hilang dan mulai detik ini Ibu Marinka tidak akan memberi kepercayaan lagi ke Tuan Felix.

"Mbak ... Mbak maafkan aku, aku nggak mau jatuh miskin. Tolong, tolong jangan usir aku," ujar Tuan Felix dengan wajah mengiba. Bayangan semua harta yang selama ini ia dapat hilang sejak menjadi 'anjing' Ibu Marinka membuat Tuan Felix rela bersujud di kaki Ibu Marinka.

Ibu Marinka menggeleng dan muak dengan ketidakbecusan Tuan Felix. Kesabarannya sudah habis dan kali ini ia tidak akan memberi kesempatan lain untuk Tuan Felix.

"Keluar!" usir Ibu Marinka.

"Mbak, aku mohon jangan perlakukan aku seperti ini, aku ..." Perbincangan mereka terhenti saat pintu ruang kerja Ibu Marinka diketuk dari luar.

"Masuk."

Salah satu anak buah Tuan Felix masuk, "Ada apa?" tanya Ibu Marinka.

"Ada kabar baik Nyonya. Saya menemukan keberadaan Tuan Ardan,"

"Saya tidak peduli dengan anak itu," balas Ibu Marinka.

"Tuan Ardan besok akan melangsungkan pernikahan keduanya," mata Ibu Marinka langsung melotot dan mengcengkram kerah anak buah Tuan Felix.

"Jangan bohong!"

"Saya tidak bohong Nyonya. Sumpah!" jawab anak buah Tuan Felix dengan takut.

"Sial! Pernikahan itu tidak boleh terjadi!"

"Masalahnya wanita yang dinikahi Tuan adalah kartu AS yang selama ini kita cari," cengkraman Ibu Marinka langsung mengendor.

"Hahahaha ternyata mangsa masuk sendiri ke dalam umpan yang kita tebar. Bagus, anak buah kamu berhasil menyelamatkan kamu. Kali ini kita biarkan mereka merengguk kebahagiaan, tapi nanti kita akan hancurkan mereka. Wanita itu akan memilih mati saat tahu laki-laki yang memerkosanya adalah suaminya sendiri."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C35
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login