Nain membuka mata perlahan hinagga menatap langit-langit kamar dengan sempurna setelah terbangun dari mimpinya. Seperti biasanya ia terbangun dengan rasa penasaran dan bahagia hingga tak menghiraukan jika mimpi buruk baru saja menimpanya.
Bermimpi buruk tentu menakutkan baginya. Sempat ia terjaga semalaman saat kali kedua ia bermimpi aneh seperti ini. Namun matanya tidak tahan dan ia tertidur. Dan benar, ia kembali bermimpi aneh. Sementara pria itu muncul dan selalu menolongnya selama ini yang mencoba membangunkannya dari mimpi itu, seakan-akan nyawanya akan terenggut jika ia mati dalam mimpinya sendiri.
Lama kelamaan Nain terbiasa dengan mimpi aneh ini dan membiarkan hal itu terjadi dengan semestinya. Terbangun dengan rasa penasaran den penuh tanya.
Nain mengerjapkan sekali lagi matanya dan duduk. Mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya.
"Pria itu, untuk pertama kalinya aku melihat wajahnya dnegan jelas setelah sekian lama. Aku pikir dia hanya bayangan, ternyata.." Nain menutup matanya dan mengacak-acak rambutnya. Ia berpikir sejenak dan menghela napas, "Hah, aku bisa gila memikirkannya." tak ingin terlalu lama dengan semua pemikirannya, ia lekas menepis selimutnya. Mengambil plester di atas nakas kemudian membalut luka goresan di tangannya dan lekas mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah.
*TheSecretOfMyDream*
Setelah dari alam mimpi. Pria itu-Fiyyin Gifritan kembali ke alam jin, di kerajaan Jalis IX, letak rumah sahabatnya, Galtain.
Ia sudah lama tinggal di sana semenjak diusir dari istana Ghaur dan sebelum Raja Jin Ghaur-Gifritan Gaalxi, meninggal yang tidak lain adalah ayah angkatnya.
Raja Gifritan mati terbunuh karena perebutan kekuasaan antara Raja Ghaur. Kini singgasana Raja Gifritan di duduki oleh anak pertamanya, Vaqsyi Gifritan.
Fiyyin berjalan ke kamar sahabatnya sambil meringis pelan.
"Wah... kau kembali? Aku kira kau sudah mati." sambil berbaring di kursi sofa, Galtain menyadari kehadiran Fiyyin. Ia kemudian bangun, "Mau kubantu?" tawar Galtain sambil tersenyum kecil.
Fiyyin menatap sinis. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri."
Galtain berdiri kemudian membantu menuntun Fiyyin. Fiyyin menpisnya, "Aku bilang tidak perlu."
"Hah! Dasar pria berhati dingin." Glatain menatap sinis dan berjalan dari belakang mengikuti langkah Fiyyin.
Setelah Fiyyin duduk di sisi ranjang, Galtain menepukkan tangannya 3 kali, tanda memanggil pelayan istananya.
"Cepat obati dia, sebelum dia merengek kesakitan." ucap Galtain kepada pelayannya.
"Baik, tuan." jawab pelayan istana lalu pergi meninggalkan kamar Galtain untuk menyiapkan obat yang di butuhkan.
Fiyyin tak menghiraukan Galtain dan mencoba melepas bajunya perlahan.
"Astaga! Lihat bajumu, apa kau baru saja bertengkar dengan hewan buas?" Galtain tertawa.
Fiyyin tak menghirukannya dan masih mencoba melepaskan bajunya. Haltain berdecak kemudian berbaring di sebelah sisi ranjang.
"Kali ini apa yang kakakmu lakukan? Maksudku, Vaqsyi? Apa yang dia lakukan kali ini terhadap gadis itu?"
"Qoysan." jawab Fiyyin seadanya.
"Jin Qoysan maksudmu? Jin penunggu pohon itu? Wahhh, akhirnya dia bertindak setelah gadis itu cukup umur?"
"Hmm..."
"Lagi?" tanya Galtain yang masih penasaran.
"Apa?"
Galtain memainkan alisnya. "Ceritakan sedikit padaku, aku ini sahabatmu, lho."
"(Astaga! Ingin sekali rasanya aku mencekik dan merusak pita suaranya)." Fiyyin menatap Galtain dengan sinis.
Galtain tersenyum dan membalas dengan telepati. "(Banarkah? Kalau begitu berbicaralah dengan benar. Agar aku tidak bersikap menyebalkan.)"
Fiyyin menarik napas panjang dan berkata cepat tanpa jeda,
"Jin itu mencoba membunuh wanita itu dengan menimpanya dengan pohon lalu aku menyelamatkannya. Puas?!"
Galtain tersenyum melihat wajah sahabatnya yang konyol saat sedang kesal. Seperti inilah dia, bahagia jika melihat sahabatnya kesal karena ulahnya.
"Wah ... Hebat juga kakakmu selama ini ia telah mengawasi manusia itu dan akhirnya ingin membunuhnya. Ya, kan? Bukankah ini menarik?" Galtain menyenggol pundak sahabatnya dengan tangannya.
"Menarik kakimu? Aku hampir saja mati gara-gara ulahnya."
Galtain berdecak kemudian berpikir sambil meletakkan tangannya di dagu, "Sebenarnya apa yang diinginkan Vaqsyi dengan membunuhnya? Bukankah hal itu malah membahayakan posisinya sebagai raja sekarang? Jika para petinggi tau, sudah pasti dia akan di hukum karena ingin membunuh manusia tanpa alasan."
Fiyyin terdiam. Ia tahu benar mengapa Vaqsyi melakukan ini, namun ia belum menceritakan pada Galtain.
*TheSecretOfMyDream*
Saat ini Nain bersekolah di SMA SunStudent, di sana ia kelas XII IPA 4. Nain bersekolah menggunakan jalur beasiswa karena semenjak ibunya meninggal dan ayahnya sudah tidak waras, memaksanya untuk hidup mandiri.
Orang tuanya tidak meninggalkan uang tabungan untuk biaya hidup Nain, karena ekonomi keluarganya terbilang sederhana untuk meninggalkannya warisan. Hanya rumah yang ia tinggali saat ini satu-satunya yang ia miliki yang di bangun sendiri oleh ayahnya.
Kini ia harus bekerja paruh waktu di tempat sahabatnya-Zei, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Nain berjalan menuju gerbang sekolah. Menatap sekitar dengan waspada jika mendapati kemunculan Zei. Namun, baru saja ia menghela napas lega, tiba-tiba terdengar suara memanggil namanya.
"Nain!" teriak pria tinggi, berambut coklat dan bibir tipis itu. Berdiri menyenderkan punggung di gerbang seperti sudah bersiap menunggu Nain lewat.
Nain melihat Zei langsung mengalihkan pandangannya dan bergegas melewati Zei dengan langkah cepat.
"Zei, sejak kapan dia di sana?" gumam Nain kesal.
"Oh!" Zei yang melihat Nain melewatinya begitu saja bergegas menghampirinya.
"Hei, Nai?" Zei berjalan mengikuti Nain.
Nain tidak menghiraukan Zei. Ia terus berjalan dengan kakinya yang tidak terlalu panjang. Zei kini mencoba menghalangi jalan Nain dan berusaha menghentikannya.
"Ada apa sampai tidak melihatku tersenyum padamu? Apa kau mencoba menghindariku?"
Nain tak menanggapi dan terus melanjutkan jalannya. Namun, Zei berhasil menghentikannya.
"Marah, ya?"
"Masih marah dengan ucapan Ran kemarin? Atau padaku karena tidak memberi tahumu tentang hubunganku dengan Ran?" tanya Zei kembali.
Nain hanya diam. Mengalihkan pandangannya dan hendak melanjutkan berjalan namun kembali Zei hentikan dengan menggenggam tangan Nain.
"Dengar, aku minta maaf. Aku yang salah." Zei kembali berdiri di hadapan Nain, "...Dan Ran? Dia sudah bilang padaku ingin meminta maaf padamu sepulang sekolah nanti. Ayolah, Nai, jangan marah lagi padaku." ucap Zei penuh harap dan mengangkat dagu Nain untuk menatapnya.
Nain menepiskan tangan Zei dan menatapnya kesal, "Kenapa tidak memberitahuku lebih awal tentang hubungan kalian. Apa harus Ran yang memberitahuku dulu?"
"Jika aku tahu, aku tidak akan terus bersamamu di sekolah, sehingga Ran tidak perlu menyebutku pengganggu hubungan kalian." ucap Nain lirih dan air mata bergenang di kelopak matanya. Hatinya benar-benar sakit saat Ran mengatakannya wanita pengganggu.
"Iya. Aku minta maaf, Nai. Aku salah tidak memberitahumu. Aku hanya perlu sedikit waktu untuk mengatakannya. Mengertilah,"
"Dan ucapan, Ran, jangan terlalu dipikirkan. Dia hanya cemburu, dia tidak tahu jika kita sahabat sejak kecil, aku sudah menjelaskan pada Ran tentang persahabatan kita dan Ran akhirnya mengerti. Dia akan meminta maaf nanti. Aku mohon jangan jauhi aku." jelas Zei dengan penuh harap dan tatapan tulus.
Nain menurunkan pandangannya dan mengangguk pelan.
"(Padahal aku selalu mengutamakanmu, Zei)." ucap Nain dalam hati.
Sementara itu di kerajaan Ghaur, singgasana Raja Gifritan. Vaqsyi Gifritan memikirkan rencana selanjutnya setelah gagal dengan rencana sebelumnya karena ulah Fiyyin-adiknya.
"Cepat! panggilkan aku golongan Qoy'an!" teriak keras Vaqsyi dari kursi singgasana kepada pelayannya.
Vaqsyi menarik sudut bibirnya, "Kau ingin bermain-main denganku? Baiklah, ayo kita lakukan! Fiyyin."